ASPEK
HUKUM DALAM PEMBANGUNAN
Nama Mahasiswa (NPM) : 1. M. Faisal Ramadhan (14315567)
2. Isna Najib Mahsun (13315485)
3. Ramos Marchelino (15315634)
4. Dien Fikry (11315887)
5. Yondhi Herlambang (17315283)
6. Azas Pradana (11315195)
Kelompok / Semester : III
/ VII
Dosen Pembimbing : Efa
Wahyuni, SE.
JURUSAN
TEKNIK SIPIL
FAKULTAS
TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2018
KATA
PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat
Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga makalah ini
dapat terselesaikan dengan baik sesua waktu yang telah ditentukan.
Penulisan makalah ini
telah kami susun dengan maksimal dan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Makalah diajukan untuk tugas mata kuliah
aspek hukum dalam pembangunan.
Terlepas dari semua
itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.
Depok, 7 November 2018
Kelompok
3
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................... 1
DAFTAR
ISI..................................................................................... 2
BAB
I PENDAHULUAN................................................................. 3
1.1
Latar belakang.................................................................. 3
1.2
Tujuan masalah................................................................ 3
BAB
II PEMBAHASAN.................................................................. 4
2.1 ASPEK
AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN............ 4
2.2 ASPEK
PENATAAN RUANG DAN PERJANJIAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN ........ 6
2.3 ARBRITRASE
DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SEGKETA DALAM PENYELENGGARAA KONTRUKSI.............................. 8
BAB
III Kesimpulan....................................................................... 10
Daftar
pustaka............................................................................... 10
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
belakang
Perizinan merupakan
instrumen kebijakan lingkungan
yang paling penting. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2005 Tentang Bangunan
Gedung Pasal 1 angka 6 menyatakan bahwa “Izin mendirikan bangunan gedung adalah
perizinan yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota kepada pemilik bangunan
gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/ atau
merawat bangunan gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan
teknis yang berlaku”. Setiap orang yang akan mendirikan bangunan gedung wajib
memiliki Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) sebagai surat bukti dari pemerintahan
daerah bahwa pemilik bangunan gedung dapat mendirikan bangunan sesuai fungsi
yang telah ditetapkan, berdasarkan rencana teknis bangunan gedung yang telah
disetujui oleh pemerintah daerah agar bangunan yang didirikan oleh masyarakat
dapat tertata dengan baik dan memenuhi persyaratan, layak digunakan, dan tidak
merusak lingkungan.
1.2
Tujuan
masalah
1.
Mengetahui undang-undang pokok agraria
2.
Perizinan yang harus dilaksanakan dalam
pelaksanaan
3.
Prosedur yang harus dilakukan abritrase
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
ASPEK
AGRARIA DALAM PEMBANGUNAN
Boedi Harsono
membedakan pengertian agraria dalam tiga perspektif, yakni arti agraria dalam
arti umum, Administrasi Pemerintahan dan pengertian agraria berdasarkan
Undang-undang Pokok Agraria. Pertama dalam perspektif umum, agraria berasal
dari bahasa Latin ager yang berarti tanah atau sebidang tanahSebutan agrarian
laws bahkan seringkali digunakan untuk menunjuk kepada perangkat
peraturan-peraturan hukum yang bertujuan mengadakan pembagian tanah-tanah yang
luas dalam rangka lebih meratakan penguasaan dan pemilikannya.
Di Indonesia sebutan
agraria di lingkungan Administrasi Pemerintahan dipakai dalam arti tanah, baik
tanah pertanian maupun non pertanian. Biarpun tidak dinyatakan dengan tegas,
tetapi dari apa yang tercantumdalam Konsiderans, pasal-pasal dan penjelasannya,
dapatlah disimpulkan, bahwa pengertian agraria dan hukum agraria dalam UUPA
dipakai dalam arti yang sangat luas. Pengertian agraria meliputi bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Dalam batas-batas seperti yang
ditentukan dalam Pasal 48, bahkan meliputi juga ruang angkasa. Yaitu ruang di
atas bumi dan air yang mengandung :tenaga dan unsur-unsur yang dapat digunakan
untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dan hal-hal lainnya yang bersangkutan
dengan itu. Undang-Undang Pokok Agraria (Uupa) Sebagai Hukum Agraria Nasional
1.
Sifat Nasional UUPA
UUPA
mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu pertama tidak memberlakukan
lagi atau mencabut hukum agraria kolonial, dan kedua membangun hukum agraria
nasional. Menurut Boedi Harsono, dengan berlakunya UUP, maka terjadilah
perubahan yang fundamental pada hukum agraria diIndonesia, terutama hukum di
bidang pertanahan. Perubahan yang fundamental ini mengenai struktur perangkat
hukum, konsepsi yang mendasari maupun isinya. UUPA juga merupakan undang-undang
yang melakukan pembaruan agraria karena di dalamnya memuat program yang dikenal
dengan Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi sebagai berikut.
a.
Pembaharuan hukum agraria melalui
unifikasi hukum yang berkonsepsi nasioanl dan pemberian jaminan kepastian
hukum;
b.
Penghapusan hak-hak asing dan
konsesi-konsesi kolonial atas tanah;
c.
Mengakhiri penghisapan feodal secara
berangsur-angsur.
d.
Perombakan pemilikan dan penguasaan atas
tanah serta hubungan-hubungan hukum yang berhubungan dengan penguasaan tanah
dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang kemudian
dikenaldengan program landreform;
e.
Perncanaan persediaan dan peruntukan
bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaan secara
terencana, sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
2.
Sifat Nasional Material UUPA
Sifat
nasional materian UUPA menunjuk kepada substansi UUPA yang harus mengandung
asas-asas berikut.
a.
Berdasarkan hukum tanah adat;
b.
Sederhana;
c.
Menjamin kepastian hukum;
d.
Tidak mengabaikan unsur-unsur yang
bersandar kepada hukum agama;
e.
Memberi kemungkinan supaya bumi, air dan
ruang angkasa dapat mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan
makmur;
f.
Sesuai dengan kepentingan rakyat
Indonesia;
g.
Memenuhi keperluan rakyat Indonesia
menurut permintaan zaman dalam segala soal agraria;
h.
Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila
sebagai asas kerohanian negara dan cita-cita bangsa seperti yang tercantum
dalam undang-undang;
i.
Merupakan pelaksanaan GBHN (dulu Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik;
j.
Melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3)
UUD 1945.
3.
Sifat Nasional Formal UUPA
Sifat
nasional formal UUPA menunjuk kepada pembentukan UUPAyang memenuhi sifat
sebagai berikut.
a.
Dibuat oleh pembentuk undang-undang
naisonal Indonesia, yaitu DPRGR;
b.
Disusun dalam bahasa nasional Indonesia;
c.
Dibentuk di Indonesia;4) Bersumber pada
UUD 1945;
d.
Berlaku dalam wilayah negara Republik
Indonesia
4.
Tujuan UUPA
Tujuan
UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) adalah
sebagai berikut.
a.
Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan
hukum agraria nasional yang akan merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan, dan keadilan, bagi Negara rakyat, terutama rakyat tani, dalam
rangka masyarakat yang adil dan makmur.
b.
Meletakkan dasarr-dasar untuk mengadakan
kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertahanan.
c.
Meletakkan dasar untuk memberikan
kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.
2.2.
ASPEK
PENATAAN RUANG DAN PERIJINAN UNTUK MELAKSANAAN PROYEK PEMBANGUNAN
Peraturan Presiden
(Perpres) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang
ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 8 Januari 2016 tidak hanya
menyoal ketentuan batasan dan perizinan. Perpres itu juga membahas ketentuan
perihal tata ruang, penyediaan tanah, jaminan, dan pengadaan barang dalam
pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
dalam pasal 19 ayat (1) Perpres itu dilakukan dengan memerhatikan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detil Tata Ruang Daerah (RDTRD), atau Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Sementara pasal 19 ayat (2)
mengatur ketentuan apabila Proyek Strategis Nasional berbenturan dengan
rencana-rencana di atas. "Dalam hal lokasi Proyek Strategis Nasional tidak
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Detail Tata Ruang Daerah,
atau Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan secara teknis
tidak dimungkinkan untuk dipindahkan dari lokasi yang direncanakan, dapat
dilakukan penyesuaian tata ruang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang penataan ruang," bunyi Pasal 19 ayat (2)
Perpres tersebut.
sebenarnya ada berapa
perizinan yang nyangkut dengan target yang kita kehendaki. Ada pun delapan izin
itu sebagai berikut:
1.
Izin lingkungan setempat Izin ini
terkait juga dengan UU Gangguan yang dikeluarkan oleh pemda setempat.
2.
Keterangan Rencana Umum Tata Ruang
(RUTR) Keterangan ini dikeluarkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
(Bappeda).
3.
Izin pemanfaatan lahan atau izin
pengeringan lahan Izin ini terutama diberlakukan jika ada pengembang yang
memakai lahan sawah untuk dikonversi menjadi perumahan.
4.
Izin prinsip Izin ini dikeluarkan oleh
pemerintah daerah setempat.
5.
Izin lokasi Izin ini diterbitkan oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional.
6.
Izin dari Badan Lingkungan Hidup atau
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Izin dari BLH merupakan pengganti
Amdal. Jika lokasi yang digunakan cakupannya kecil, cukup mengurus izin Upaya
Pemantauan Lingkungan Hidup dan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UPL-UKL).
7.
Izin dampak lalu lintas Izin ini
dikeluarkan oleh Menteri Perhubungan. Jika perumahan mau dihubungkan dengan
jalan arteri, pengembang harus memiliki izin ini.
8.
Pengesahan site plan Hasil perencanaan
lahan (site plan) berfungsi untuk mengetahui pengaturan ruang yang akan
digunakan saat perumahan dibangun. Izin ini diterbitkan oleh dinas pemerintah
daerah setempat di bawah Kementerian PU-Pera.
2.3
ARBRITRASE
DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PENYELENGGARAAN KONTRUKSI
Sebenarnya, arbitrase
sudah ada sejak lama, tetapi baru lebih banyak dikenal dan digunakan sejak
dikeluarkannya UU Arbitrase. Penyelesaian sengketa dagang menjadi lebih banyak
menggunakan alternatif ini lantaran dinilai lebih efektif. Putusan yang
dihasilkan dari proses arbitrase bersifat final, independen, dan mengikat,
artinya setiap pihak baik pemohon maupun termohon wajib memenuhinya. Sengketa
perusahaan yang telah selesai ini tidak perlu lagi dibawa ke meja pengadilan.
Arbitrase juga kerap menjadi pilihan untuk menyelesaikan urusan sengketa
perusahaan karena sifatnya yang tertutup. Terutama bagi pelaku usaha yang sudah
besar dan memiliki nama di publik, adanya kasus tentu dapat memengaruhi proses
bisnis yang sudah berjalan baik. Menyelesaikan masalah melalui arbitrase adalah
pilihan yang bijak karena pemeriksaan dan persidangan tidak dibuka untuk umum
sehingga dapat menjaga kerahasiaan sengketa. Keuntungan lainnya dalam
menyelesaikan kasus dengan arbiter adalah dua belah pihak telah mengetahui
posisi dan sikap masing-masing sebelum sidang dimulai. Seperti yang disampaikan
sebelumnya, sidang merupakan prosedur yang dilaksanakan setelah berkas
permohonan disampaikan dan tanggapan pemohon diterima. Daftar bukti untuk mendukung
dalilnya pun telah disiapkan oleh masing-masing pihak. Dengan demikian, setiap
pihak lebih leluasa dalam menyampaikan argumennya pada saat persidangan.
Pada prinsipnya,
prosedur penyelesaian sengketa melalui arbitrase melalui lembaga institusional
dan ad hoc tidak terlalu banyak berbeda. Berikut ini adalah prosedur yang harus
dilakukan
1.
Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase
Seperti
yang disampaikan sebelumnya, kesepakatan penyelesaian sengketa melalui
arbitrase harus disetujui dua belah pihak. Sebelum berkas permohonan
dimasukkan, Pemohon harus lebih dulu memberitahukan Termohon bahwa sengketa
akan diselesaikan melalui jalur arbitrase. Surat pemberitahuan ini wajib
diberikan secara tertulis dan memuat lengkap informasi seperti yang tertuang pada
Undang-Undang No. 39 Tentang Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2, yakni:• Nama dan
alamat lengkap Pemohon dan Termohon; dalam menyelesaikan sengketa.
2.
Penunjukan Arbiter
Merujuk
pada UU Arbitrase pasal 8 ayat 1 dan 2 yang disebutkan sebelumnya, pemohon dan
termohon dapat memiliki kesepakatan mengenai arbiter. Kesepakatan ini
dituliskan pada permohonan arbitrase yang disampaikan Pemohon dan dalam jawaban
Termohon (dijelaskan pada poin 3 mengenai Tanggapan Pemohon).Forum arbitrase
dapat dipimpin hanya oleh seorang arbiter (arbiter tunggal) atau Majelis.
3.
Tuntutan Balik
Dalam
jangka waktu 30 hari tersebut, Termohon harus mengajukan tanggapannya kepada
BANI untuk kemudian diserahkan kepada Majelis dan Pemohon. Jawaban tersebut
harus mengandung keterangan mengenai fakta-fakta yang mendukung permohonan
arbitrase berikut butir-butir permasalahannya.
KESIMPULAN
1. Undang-undang
pokok agraria (uupa) sebagai hukum agraria nasional yaitu Sifat Nasional UUPA,
Sifat Nasional Material UUPA, Sifat Nasional Formal UUPA, Tujuan UUPA
2. Kementerian
Dalam Negeri mendapat laporan, para pengembang yang hendak membangun rumah
maupun kawasan residensial, setidaknya dikenakan 40 perizinan.
3. Prosedur
Yang Harus Dilakukan Dalam Penyelesaian Sengketa Melalui Arbitrase yaitu,
Pendaftaran dan Permohonan Arbitrase, Penunjukan Arbiter, Tuntutan Balik
Daftar pustaka
0 komentar:
Posting Komentar